Senin, 26 Maret 2018

BOYOLALI: Brownies Kukus Nan Lezat



Berjualan menjadi salah satu pekerjaan yang menurutku paling menarik. Senang saja melihat orang-orang menjajakan dagangan kepada setiap orang yang tidak dikenal. Bermacam tingkah, gaya dan cara mereka untuk bisa menggaet pembeli. Beragam gaya dan cara juga dari pembeli untuk menolak tawaran tersebut. Aku bisa melihat mana-mana penjual yang piawai dalam menjajakan dagangannya dan mana yang perlu mendapat pelatihan atau perlu berlatih lebih keras untuk meningkatkan omzet penjualannya.

Aku paling senang kalau ada waktu luang jalan-jalan cuci mata di mal, melakukan aktivitas window shopping. Untuk cuci mata tidak harus di mal, aku juga bisa menikmati acara cuci mata di lapak-lapak pedagang yang menggelar dagangannya di pinggir jalan. Berhenti, lihat-lihat barang-barang, jalan lagi, berhenti lagi, asyik banget gitu loh.

Aku juga pernah punya pengalaman jualan yang membuatku deg-degan. Waktu itu sebetulnya yang berjualan istriku. Jualan brownis kukus. Keinginan untuk menambah penghasilan serta memanfaatkan kebisaan membuat kue membuat kami berencana menjual kue brownis bikinan istriku. Waktu itu kami anggap berjualan di acara pentas seni anak-anak SMA yang diadakan di gedung olah raga akan menjadi ajang berjualan yang sukses. Ajaib, kue brownis bikinan istriku nan lezat tidak ada yang laku. Yang laku adalah sampel dan kue yang dibagikan kepada panitia sebagai tanda kami bisa ikut jualan. Seharian istriku jualan dari pagi sampai siang tidak ada satu pun yang terjual. Bayangkan 20 karton berukuran 8cm x 20 cm berisi brownis kukus nan lezat tidak laku. Ada yang salah rupanya. Istriku menyambut kedatanganku di pintu keluar GOR dengan senyum yang dipaksakan.

“Tidak ada yang laku,” kata istriku.

Tapi aku tidak sempat untuk menganalisa lama-lama kenapa tidak laku. Yang ada adalah memberi semangat kepada istriku dan segera berpikir bagaimana menyelamatkan dagangan kami. Tidak mungkin kan kami menghabiskan semua kue itu sendiri.
“Ayo, jangan khawatir,” kataku memberi semangat.
“Coba satu karton dipotong lagi untuk sampel,” pintaku pada istriku lagi berusaha untuk tenang sambil terus berpikir kemana aku akan menjual.

Entah apa yang ada dibenakku waktu itu, kuarahkan kendaraanku ke salon yang ada di dekat GOR. Istriku masuk membawa sampel dan tak lama keluar mengambil dagangan kami. Syukurlah pemilik salon membeli dua karton. Kami pun melangkah lagi di jalan kulihat ada rombongan ibu-ibu yang akan bepergian. Kuarahkan istriku agar mencoba menawarkan ke serombongan ibu-ibu tersebut. Setelah mencicipi, ibu-ibu tersebut langsung membeli enam karton. Alhamdulillah....

Selanjutnya aku antar istriku ke tempat-tempat yang sekiranya akan membeli kue brownis istriku. Tujuh lagi kue brownis terjual. Tidak sampai satu jam, 15 karton berhasil kami jual. Kulihat istriku tercinta mulai bisa tersenyum. Duh senangnya hatiku, aku pun ikut lega. Kulihat masih ada empat karton lagi tersisa, namun aku ajak istriku pulang. Aku ingin membagi karton-karton tersisa sebagai tanda syukur. Menurutku sudah cukup kami bisa menjual 15 karton pada hari itu, dan kami bersyukur.

Ada cerita manis yang membuat istriku antusias berjualan brownis kukusnya. Pemilik salon yang kami kunjungi setelah keluar dari GOR dulu ketika kami datang lagi dengan membawa brownis ikut memasarkan ke pelanggan salonnya dengan bersemangat.
“Brownisnya enak lho, ayo pada beli ya....aku ambil dua lagi.”

Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar